Sabtu, 30 Oktober 2010

Hipertensi Pemuda untuk Indonesia

Saat ini, tanggal 28 Oktober 2010, Indonesia sedang banyak berduka. Berbagai bencana sedang meluluhlantakkan sebagian eksotisme negeri ini. Dari banjir bandang di Wasior, gempa dan tsunami bumi Mentawai, amukan gunung meletus Merapi di Sleman dan sekitarnya, serta banjir-banjir kecil menggenangi kota-kota di Indonesia (termasuk di Jakarta tentunya). Belasungkawa yang sedalam-dalamnya saya ucapkan kepada para korban bencana yang terhormat. Semoga cobaan ini bisa membuat bangsa ini menjadi lebih tabah dan terus introspeksi diri.

Di saat yang bersamaan, 28 Oktober adalah tanggalnya pemuda pemudi Indonesia, dimana ketika itu di tahun 1928, dideklarasikan Sumpah Pemuda. Saya tidak akan membahas bagaimana bunyi kalimat Sumpah Pemuda, karena saya yakin jarang yang ingat/bisa menghapalnya dengan benar. Akan tetapi, esensi Sumpah Pemuda itu bukan berarti kita harus hapal bunyi Sumpah Pemuda itu sendiri, tetapi yang terpenting adalah memahami secara garis besar isi Sumpah Pemuda.

Mungkin saya adalah satu pemuda yang sampai saat ini belum banyak berbuat untuk Indonesia, tetapi saya sangat yakin hal-hal kecil yang saya lakukan setiap hari ikut andil dalam kemajuan Indonesia. Saya tidak berarti sombong, karena saya juga menyadari bahwa apa yang sampai saat ini saya lakukan belum ada apa-apanya dibanding teman-teman kita di luar sana. Saya tahu, banyak pemuda pemudi di luar sana yang telah mengharumkan nama Indonesia, berbuat, berbakti, dan mengabdi secara nyata untuk Indonesia. Salut untuk mereka!

Banyak yang bilang pemuda pemudi saat ini adalah calon pemimpin masa depan yang hebat. Pemuda pemudi saat ini banyak belajar dari kesalahan-kesalahan orang tuanya di masa lalu. Dari belajar untuk tidak korupsi, belajar menghargai pendapat, belajar untuk lebih peduli terhadap sesama manusia, dan belajar untuk tidak menjadi teroris di negeri sendiri. Lihatlah, ketika pemerintah sedang bergejolak, pemuda turun ke jalan, dan hipertensi mereka kerahkan untuk menyadarkan orang tua mereka. Tidak salah memang, tetapi jika sudah terlampau anarkis dan merugikan orang lain, apakah masih ada yang menganggap itu bukan kesalahan?

Tak ada salahnya orang mengeluarkan pendapat, berteriak sekencang-kencangnya di depan gedung pemerintah, mengeluarkan segala kata-kata pencerahan. Padahal belum tentu semua seruan itu ditanggapi secara serius oleh pemerintah, karena katanya pemerintah masih mempunyai banyak tanggungan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan terlebih dahulu. Sebut saja prioritas untuk merenovasi gedung MPR, penambahan gaji pejabat pemerintah ketika rakyat juga menginginkannya, dan liburan ke luar negeri dengan alasan studi banding. Seperti inikah yang membuat pemuda pemudi Indonesia anarkis dan hilang akal?

Saya balik bertanya untuk diri saya sendiri dan pemuda pemudi Indonesia saat ini. Sudahkah diri kita mulai belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut? Atau bentuk ketidaksenangan kepada pemerintah saat ini jangan-jangan hanya kita rasakan ketika kita merasa dirugikan, selain itu kita hanya diam. Apakah kita telah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut di masa mendatang? Seberapa jauh kepedulian kita kepada orang lain, ketika orang lain merasa susah, kita justru tertawa memamerkan segala kemewahan yang kita punya, tak terkecuali kemewahan lahir maupun batin.

Rasanya di era digital seperti sekarang ini, tindakan berdemo fisik melawan pemerintah sudah saatnya dikurangi. Berpendapat tidak harus secara langsung terjun ke lapangan. Banyak media yang bisa kita manfaatkan bersama untuk berbagi pendapat dan keluhan di dunia maya. Terlebih kebebasan pers, berpendapat, dan mengkritik kinerja pemerintah, sudah mulai terbuka dan bebas untuk siapa saja, tentu dengan memperhatikan etika jurnalisme. Suara-suara tidak harus dikeluarkan melalui mulut, tetapi juga bisa berupa ungkapan melalui tulisan. Justru dengan cara yang demikian ini pendapat-pendapat kita banyak dibaca orang lain, jika kita pandai bersosialisasi dengan baik. Saling bertukar pemikiran dan menentukan jalan terbaik bagi bangsa ini.

Intospeksi atas perbedaan yang menghiasi kemajemukan bangsa ini harus tetap ditingkatkan. Di sana sini, masih ada saja hal-hal konyol yang mengatasnamakan golongan tertentu sebagai golongan yang paling benar dan paling hebat. Ujung-ujungnya adalah perang saudara. Harusnya perbedaan itu dipandang sebagai tameng yang paling ampuh untuk menghindari hal-hal yang berhubungan dengan perbedaan latar belakang dan SARA. Biarlah kemajemukan ini berkembang sendiri-sendiri, selama tidak saling merugikan kelompok/individu lain.

Mari kita mulai mewujudkan mimpi-mimpi Indonesia dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan. Yang masih sekolah, tetaplah menuntut ilmu dengan baik. Yang sudah kuliah, juga jangan bosan untuk tetap belajar dan berkarya. Rangkullah teman-teman yang lain tanpa memandang asal usul, suku, ras, agama, dan perbedaan yang lain. Hargailah kita semua. Jangan mudah berputus asa, karena kita masih muda, kawan. Kegagalan itu tak selamanya, kelak pasti kau akan tersenyum dan bangga akan apa yang telah kita raih.

Khusus bagi yang muda, bersiaplah menghadapi tantangan masa depan, memperbaiki cacat lahir batin negeri ini kelak, dan berusaha untuk membuat Indonesia semakin maju, berkembang, dan berdaulat. Menghargai setiap perbedaan dan menyelesaikan segala permasalahan dengan bijak, sesuai dengan butir-butir Pancasila dan semangat Sumpah Pemuda. Wahai PEMUDA PEMUDI Indonesia, mari bersama-sama kita menjadi BEDA dan BERBAHAYA!


SUMPAH PEMUDA
Pertama :
- KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA, MENGAKU BERTUMPAH DARAH YANG SATU, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA, MENGAKU BERBANGSA YANG SATU, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA, MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA
Jakarta, 28 Oktober 1928

Tidak ada komentar:

Posting Komentar