Beberapa waktu yang lalu, tentu kita masih ingat gembar-gembor pengakuan sebagian seni budaya kita diklaim oleh Malaysia. Dari perebutan pulau, tari Pendet, batik, hingga aneka jenis makanan yang diklaim sebagai milik Malaysia. Tentu banyak dari kita sendiri yang setidaknya mengiyakan dan mendukung bahwa pernyataan tersebut benar, termasuk saya. Karena saya yakin mereka bisa mengatakan seperti itu bukan dari akal sehat, tetapi mereka banyak terpengaruh oleh orang-orang yang mungkin belum bisa berkepala dingin menghadapi konflik/masalah.
Terlebih sikap pemerintah yang sedikit provokatif semakin menunjukkan bahwa Indonesia meluapkan segala kemarahannya kepada negara yang bertetangga dengan kita. Padahal jika dilihat secara filosofis Indonesia dan Malaysia masih termasuk dalam satu rumpun, satu daratan, satu bahasa (Indonesia Melayu), dan ada di kawasan Asia Tenggara. Tak sedikit pula orang-orang Indonesia yang bekerja atau kuliah di Malaysia dan juga sebaliknya. Budaya yanga dimiliki Indonesia dan Malaysia juga tidak jauh berbeda.
Jujur saja, saya menulis artikel ini, setelah membaca kolom National Affairs yang ditulis oleh Amir Sidharta dalam majalah Rolling Stone Indonesia edisi bulan Oktober 2009. Pada intinya dalam artikel tersebut banyak mengulas tentang konflik kepemilikan budaya antara Indonesia dan Malaysia, yang selanjutnya membuat saya sedikit berpikir lebih realistis terhadap pandangan kebanyakan orang.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak suku, sehingga melahirkan banyak kebudayaan. Ini disebabkan karena Indonesia memiliki banyak pulau besar dan kecil yang berbeda etnis. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang termasuk dalam peringkat sepuluh dunia. Lain halnya dengan Malaysia, yang jika dilihat sekilas dalam peta dunia mempunyai wilayah yang jauh lebih sempit, sedikit suku/etnis, sedikit jumlah penduduk dibanding Indonesia, sehingga jumlah kebudayaan yang ada tidak begitu banyak.
Dengan banyaknya budaya yang kita miliki, SUDAHKAH KITA KENAL BUDAYA KITA SENDIRI? Tak usah jauh-jauh, pernahkah Anda berpikir lalu menyebutkan budaya apa saja yang dimiliki oleh daerah tempat tinggal Anda, lalu bisakah Anda melakukan/menggunakan kebudayaan tersebut sebagai kebanggan tersendiri? Mungkin Anda malah akan terdiam tak berkata ketika diseruduk dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Atau hanya bisa menyebutkan tetapi tidak tahu bagaimana sejarahnya, asal usulnya, dan apa maknanya.
Ada alasan yang muncul bahwa sejak kecil ada diantara kita yang tidak pernah dikenalkan dengan budaya-budaya yang ada. Saya sendiri juga teringat, waktu masih duduk di bangku TK hingga SMP, beberapa tahun yang lalu, seni budaya itu masih sering diajarkan, terutama hal-hal kecil seperti berbahasa Jawa yang baik dan benar, atau yang lainnya seperti berlatih seni tari dan macapat, karena saya hidup di daerah Jawa Tengah. Tapi sepertinya, apa yang saya lihat setelah duduk di bangku SMA hingga sekarang pendidikan kebudayaan tersebut sudah berkurang, dari pendidikan dini hingga lanjut. Ada yang bilang kebudayaan itu sudah tak berkembang lagi di masa sekarang, sehingga pendidikan seperti itu dihilangkan saja di beberapa sekolah. Di lain sisi, guru (tenaga pendidik kebudayaan) sudah tidak banyak peminatnya, sudah terlalu jenuh dengan kebudayaan yang statis, serta prospek ke depan yang tak lagi mendukung, baik dari upah hingga pekerjaan.
Lebih spesifik lagi, berapa sih jumlah di antara peralatan musik daerah yang kita ketahui namanya, belum lagi cara memainkannya? Berapa jenis tarian daerah yang kita kenal dan ketahui daerah asalnya? Berapa lagu daerah yang bisa kita nyanyikan? Apa saja sih motif batik yang kita kenal dan dari mana asalnya? Apakah ciri khas lukisan Affandi? Apa bedanya dari corak lukisan Soedibio? Apa saja film-film karya Usmar Ismail? Bisakah Anda membedakan nama dak narakter dalam dunia pewayangan? Kapankah kita terakhir menonton pertunjukan seni tradisional di desa asalnya?
Yah, itu hanya sebagian saja pertanyaan yang sudah cukup sulit untuk kita jawab dengan semestinya jika kita benar-benar mengenal budaya kita sendiri. Paling-paling yang bisa menjawab semua itu mungkin para mahasiswa yang kuliah di jurusan seni budaya. Saya saja merasa malu mengapa kita harus mengakui budaya kita yang diklaim negara lain, kalau kita baru tersadar ketika mereka melakukan pengakuan. Mengapa tidak jauh-jauh hari sebelumnya kita membudayakan semua itu dan membiasakan diri untuk selalu melestarikan budaya Indonesia. Apa karena kita lupa budaya kita sendiri, atau bahkan menganggap kuno budaya luhur yang hanya dimiliki oleh bangsa kita?
Okelah kalau ada hasil karya musisi kita yang dijiplak di Negeri Jiran, tapi masih banyak kok musisi-musisi kita yang justru lebih banyak dikenal, dihormati, dan dihargai di sana ketimbang musisi lokal Malaysia.Tidakkah kita merasa bangga terhadap kenyataan ini, banyak musisi kita yang ditiru oleh orang di negara lain, yang sudah dipastikan mereka kagum atas lagu tersebut. Tidak mungkin seseorang tidak menyukai lagu lantas lagu tersebut dinyanyikan dan iramanya dijiplak.
Misalnya saja lagu Rasa Sayange yang diciptakan oleh Paulus Pea yang justru banyak dihapal oleh kebanyakan orang Malaysia, padahal sebenarnya itu adalah lagu yang berasal dari Maluku (Indonesia). “Saya menduga lagu Rasa Sayange lebih dikenalkan pada masyarakat Malaysia oleh Syaiful Bachri, konduktor Orkestra Simpony Jakarta (RRI) yang hijrah ke Malaysia tahun 1960an dengan membawa seluruh partitur lagu-lagu milik Orkestra Symphony Jakarta, diantaranya terdapat lagu Rasa Sayange” kata musisi Christ Patikawa. Oleh karena lagu itu jarang diputar dan dibudayakan di Indonesia, maka ketika lagu tersebut diketahui telah menjadi sebuah paket promosi pariwisata Malaysia, menjadi semakin heboh ketika dinyanyikan oleh para pemuda Malaysia peserta SSEAP di Jepang beberapa waktu lalu. Akibatnya, muncul banyak komplain dari Indonesia yang sebelumnya juga merasa kecewa dengan sikap Malaysia, karena telah mengklaim lagu "Rasa Sayang Hei" sebagai lagu rakyat warisan budaya mereka, sebagaimana juga berlaku atas lagu "Burung Kakatua".
Batik Indonesia pada tanggal 2 Oktober lalu telah diakui oleh UNESCO sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia setelah wayang dan keris. Hal itu juga dilakukan karena pada saat-saat sebelumnya Malaysia sempat mengakui bahwa kerajinan Batik adalah milik Malaysia. Pada hari itu juga banyak saya lihat orang-orang di jalanan banyak mengenakan batik atas instruksi dari Presiden SBY untuk menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Tidak ada salahnya memang, setelah hari-hari itu tampaknya semakin banyak orang yang tidak sungkan untuk mengenakan batik sebagai pakaian beraktivitas sehari-hari.
Itulah sedikit unek-unek yang dapat saya sampaikan melalui tulisan ini. Tidak ada maksud untuk menghakimi dan memihak salah satu kubu. Saya hanya mengajak pembaca semua untuk berpikir positif, tidak menjadi provokator hitam, beralasan disertai bukti, serta tetap menjaga nama dan kedaulatan bangsa sendiri. Kita di dunia hidup bersama dan segala masalah pasti ada jalan keluarnya. Dunia yang damai, aman, tentram, tanpa perang, serta saling menghormati antar suku bangsa adalah harapan semua penduduk dunia. Marilah kita bercermin diri terlebih dahulu sebelum kita terlambat unjuk gigi atas semua kekayaan yang kita miliki. Cheers…
Terlebih sikap pemerintah yang sedikit provokatif semakin menunjukkan bahwa Indonesia meluapkan segala kemarahannya kepada negara yang bertetangga dengan kita. Padahal jika dilihat secara filosofis Indonesia dan Malaysia masih termasuk dalam satu rumpun, satu daratan, satu bahasa (Indonesia Melayu), dan ada di kawasan Asia Tenggara. Tak sedikit pula orang-orang Indonesia yang bekerja atau kuliah di Malaysia dan juga sebaliknya. Budaya yanga dimiliki Indonesia dan Malaysia juga tidak jauh berbeda.
Jujur saja, saya menulis artikel ini, setelah membaca kolom National Affairs yang ditulis oleh Amir Sidharta dalam majalah Rolling Stone Indonesia edisi bulan Oktober 2009. Pada intinya dalam artikel tersebut banyak mengulas tentang konflik kepemilikan budaya antara Indonesia dan Malaysia, yang selanjutnya membuat saya sedikit berpikir lebih realistis terhadap pandangan kebanyakan orang.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak suku, sehingga melahirkan banyak kebudayaan. Ini disebabkan karena Indonesia memiliki banyak pulau besar dan kecil yang berbeda etnis. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang termasuk dalam peringkat sepuluh dunia. Lain halnya dengan Malaysia, yang jika dilihat sekilas dalam peta dunia mempunyai wilayah yang jauh lebih sempit, sedikit suku/etnis, sedikit jumlah penduduk dibanding Indonesia, sehingga jumlah kebudayaan yang ada tidak begitu banyak.
Dengan banyaknya budaya yang kita miliki, SUDAHKAH KITA KENAL BUDAYA KITA SENDIRI? Tak usah jauh-jauh, pernahkah Anda berpikir lalu menyebutkan budaya apa saja yang dimiliki oleh daerah tempat tinggal Anda, lalu bisakah Anda melakukan/menggunakan kebudayaan tersebut sebagai kebanggan tersendiri? Mungkin Anda malah akan terdiam tak berkata ketika diseruduk dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Atau hanya bisa menyebutkan tetapi tidak tahu bagaimana sejarahnya, asal usulnya, dan apa maknanya.
Ada alasan yang muncul bahwa sejak kecil ada diantara kita yang tidak pernah dikenalkan dengan budaya-budaya yang ada. Saya sendiri juga teringat, waktu masih duduk di bangku TK hingga SMP, beberapa tahun yang lalu, seni budaya itu masih sering diajarkan, terutama hal-hal kecil seperti berbahasa Jawa yang baik dan benar, atau yang lainnya seperti berlatih seni tari dan macapat, karena saya hidup di daerah Jawa Tengah. Tapi sepertinya, apa yang saya lihat setelah duduk di bangku SMA hingga sekarang pendidikan kebudayaan tersebut sudah berkurang, dari pendidikan dini hingga lanjut. Ada yang bilang kebudayaan itu sudah tak berkembang lagi di masa sekarang, sehingga pendidikan seperti itu dihilangkan saja di beberapa sekolah. Di lain sisi, guru (tenaga pendidik kebudayaan) sudah tidak banyak peminatnya, sudah terlalu jenuh dengan kebudayaan yang statis, serta prospek ke depan yang tak lagi mendukung, baik dari upah hingga pekerjaan.
Lebih spesifik lagi, berapa sih jumlah di antara peralatan musik daerah yang kita ketahui namanya, belum lagi cara memainkannya? Berapa jenis tarian daerah yang kita kenal dan ketahui daerah asalnya? Berapa lagu daerah yang bisa kita nyanyikan? Apa saja sih motif batik yang kita kenal dan dari mana asalnya? Apakah ciri khas lukisan Affandi? Apa bedanya dari corak lukisan Soedibio? Apa saja film-film karya Usmar Ismail? Bisakah Anda membedakan nama dak narakter dalam dunia pewayangan? Kapankah kita terakhir menonton pertunjukan seni tradisional di desa asalnya?
Yah, itu hanya sebagian saja pertanyaan yang sudah cukup sulit untuk kita jawab dengan semestinya jika kita benar-benar mengenal budaya kita sendiri. Paling-paling yang bisa menjawab semua itu mungkin para mahasiswa yang kuliah di jurusan seni budaya. Saya saja merasa malu mengapa kita harus mengakui budaya kita yang diklaim negara lain, kalau kita baru tersadar ketika mereka melakukan pengakuan. Mengapa tidak jauh-jauh hari sebelumnya kita membudayakan semua itu dan membiasakan diri untuk selalu melestarikan budaya Indonesia. Apa karena kita lupa budaya kita sendiri, atau bahkan menganggap kuno budaya luhur yang hanya dimiliki oleh bangsa kita?
Okelah kalau ada hasil karya musisi kita yang dijiplak di Negeri Jiran, tapi masih banyak kok musisi-musisi kita yang justru lebih banyak dikenal, dihormati, dan dihargai di sana ketimbang musisi lokal Malaysia.Tidakkah kita merasa bangga terhadap kenyataan ini, banyak musisi kita yang ditiru oleh orang di negara lain, yang sudah dipastikan mereka kagum atas lagu tersebut. Tidak mungkin seseorang tidak menyukai lagu lantas lagu tersebut dinyanyikan dan iramanya dijiplak.
Misalnya saja lagu Rasa Sayange yang diciptakan oleh Paulus Pea yang justru banyak dihapal oleh kebanyakan orang Malaysia, padahal sebenarnya itu adalah lagu yang berasal dari Maluku (Indonesia). “Saya menduga lagu Rasa Sayange lebih dikenalkan pada masyarakat Malaysia oleh Syaiful Bachri, konduktor Orkestra Simpony Jakarta (RRI) yang hijrah ke Malaysia tahun 1960an dengan membawa seluruh partitur lagu-lagu milik Orkestra Symphony Jakarta, diantaranya terdapat lagu Rasa Sayange” kata musisi Christ Patikawa. Oleh karena lagu itu jarang diputar dan dibudayakan di Indonesia, maka ketika lagu tersebut diketahui telah menjadi sebuah paket promosi pariwisata Malaysia, menjadi semakin heboh ketika dinyanyikan oleh para pemuda Malaysia peserta SSEAP di Jepang beberapa waktu lalu. Akibatnya, muncul banyak komplain dari Indonesia yang sebelumnya juga merasa kecewa dengan sikap Malaysia, karena telah mengklaim lagu "Rasa Sayang Hei" sebagai lagu rakyat warisan budaya mereka, sebagaimana juga berlaku atas lagu "Burung Kakatua".
Batik Indonesia pada tanggal 2 Oktober lalu telah diakui oleh UNESCO sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia setelah wayang dan keris. Hal itu juga dilakukan karena pada saat-saat sebelumnya Malaysia sempat mengakui bahwa kerajinan Batik adalah milik Malaysia. Pada hari itu juga banyak saya lihat orang-orang di jalanan banyak mengenakan batik atas instruksi dari Presiden SBY untuk menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Tidak ada salahnya memang, setelah hari-hari itu tampaknya semakin banyak orang yang tidak sungkan untuk mengenakan batik sebagai pakaian beraktivitas sehari-hari.
Itulah sedikit unek-unek yang dapat saya sampaikan melalui tulisan ini. Tidak ada maksud untuk menghakimi dan memihak salah satu kubu. Saya hanya mengajak pembaca semua untuk berpikir positif, tidak menjadi provokator hitam, beralasan disertai bukti, serta tetap menjaga nama dan kedaulatan bangsa sendiri. Kita di dunia hidup bersama dan segala masalah pasti ada jalan keluarnya. Dunia yang damai, aman, tentram, tanpa perang, serta saling menghormati antar suku bangsa adalah harapan semua penduduk dunia. Marilah kita bercermin diri terlebih dahulu sebelum kita terlambat unjuk gigi atas semua kekayaan yang kita miliki. Cheers…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar